Ketika bekerja sebagai tukang pelitur itu, ia sering mendeklamasikan puisinya untuk teman sekerjanya.
Kerap diejek sebagai penyair pelo atau cadel, Wiji Thukul tetap percaya diri menulis syair-syair puisi sejak SD.
Dan lantas ia aplikasikan ke dalam teater, yang ia geluti sejak SMP.
Sejak itu, cita-cita menjadi seniman makin bulat. Ia kemudian aktif berkesenian dan bergabung dengan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).
Baca Juga: Puisi Bunga dan Tembok Karya Wiji Thuku
Tahun 1991, Wiji Thukul memperoleh penghargaan sastra Wertheim Encourage Award, orang Indonesia kedua setelah WS Rendra yang menerima penghargaan itu.
Nama Wiji Thukul kian populer sebagai penyair, seniman dan aktivis yang menyuarakan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) ketika rezim Orde Baru masih berkuasa.
Hingga, dalam sebuah demo uruh Sritex Solo untuk menuntut kenaikan upah, mata kiri dan telinga kanan Wiji Thukul digebuk oleh anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Baca Juga: Puisi Sajak Suara Karya Wiji Thukul
Tak berhenti di situ, Wiji Thukul terus menyuarakan tangisan dan keluhan para buruh di beberapa kota yang tak diberi gaji sesuai upah minimal kerja (UMR).