TUBANBICARA.com - Wiji Thukul, seorang penyair sekaligus aktivis anti-otoriter Orde Baru (Orba) lahir hari ini 58 tahun yang lalu. Tepatnya pada 26 Agustus 1963 di Solo, Jawa Tengah.
Kini, Wiji Thukul dikenang sebagai simbol perlawanan kepada penguasa rezim militeristik-otoritarian dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Wiji Thukul adalah satu dari 13 aktivis, pemuda, dan mahasiswa yang dihilangkan negara menjelang kejatuhan Soeharto.
Hingga kini, para keluarga korban menagih keadilan kepada pemerintah melalui Aksi Kamisan.
Baca Juga: Puisi Peringatan Karya Wiji Thukul
Profil Wiji Thukul
Berasal dari kampung kota di Solo, Wiji Thukul adalah anak dari tukang becak. Ia merupakan anak tertua dari tiga bersaudara.
Setelah berhasil menamatkan SMP (1979), Wiji Thukul kemudian masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Tari, tetapi keluar (drop-out) pada tahun 1982.
Baca Juga: Puisi Bunga dan Tembok Karya Wiji Thuku
Setelah itu, ia berjualan koran, kemudian oleh tetangganya diajak bekerja di sebuah perusahaan mebel antik sebagai tukang pelitur.
Ketika bekerja sebagai tukang pelitur itu, ia sering mendeklamasikan puisinya untuk teman sekerjanya.
Kerap diejek sebagai penyair pelo atau cadel, Wiji Thukul tetap percaya diri menulis syair-syair puisi sejak SD.
Dan lantas ia aplikasikan ke dalam teater, yang ia geluti sejak SMP.
Sejak itu, cita-cita menjadi seniman makin bulat. Ia kemudian aktif berkesenian dan bergabung dengan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).
Baca Juga: Puisi Bunga dan Tembok Karya Wiji Thuku
Tahun 1991, Wiji Thukul memperoleh penghargaan sastra Wertheim Encourage Award, orang Indonesia kedua setelah WS Rendra yang menerima penghargaan itu.
Nama Wiji Thukul kian populer sebagai penyair, seniman dan aktivis yang menyuarakan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) ketika rezim Orde Baru masih berkuasa.
Hingga, dalam sebuah demo uruh Sritex Solo untuk menuntut kenaikan upah, mata kiri dan telinga kanan Wiji Thukul digebuk oleh anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Baca Juga: Puisi Sajak Suara Karya Wiji Thukul
Tak berhenti di situ, Wiji Thukul terus menyuarakan tangisan dan keluhan para buruh di beberapa kota yang tak diberi gaji sesuai upah minimal kerja (UMR).
Wiji Thukul pun masuk dalam daftar hitam pemerintahan Soeharto. Ia menjadi buronan rezim.
Hingga membuat penyair tersebut melarikan diri dari satu tempat ke tempat lain.
Berdasarkan pengakuan istrinya, Diah Sujirah alias Sipon, Thukul meninggalkan keluarganya pada awal Agustus 1997.
Dan kontak terakhirnya dengan Wiji Thukul terjadi pada awal Februari 1998.
Baca Juga: Dengan Puisi Wiji Thukul Melawan
Karya-karya Wiji Thukul
Kumpulan karya Wiji Thukul terkolase apik dalam buku berjudul "Aku Ingin Jadi Peluru". Di dalamnya ada judul puisi bernama "Peringatan" di mana ada satu paragraf dengan sebutir kalimat yang punya popularitas melebihi penciptnya, yakni:
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan/
Maka hanya ada satu kata: lawan!//
Baca Juga: Puisi Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa Karya Wiji Thukul
Meski Wiji Thukul sudah dinyatakan hilang, karyanya masih ada yang masih dibacakan hingga sekarang, seperti: Puisi untuk Adik, Di bawah selimut kedamaian palsu, Peringatan, (tanpa judul), dan Hari itu aku akan bersiul-siul.
Semangat Thukul masih terasa hingga era Reformasi. Pada tahun 2017, film biopik dari kehidupan Wiji Thukul rilis di bioskop Indonesia dengan judul "Istirahatlah Kata-kata".
Disutradarai oleh Yosep Anggi Noen dan pemeran utamanya adalah Gunawan Maryanto.
Demikian profil dari Wiji Thukul, dan karya-karya dari penyair cum aktivis penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut.
***