Tuban Bicara - Siapa yang tidak kenal dengan penyair dan sastrawan terkenal Indonesia, dia Sapardi Djoko Damono seorang penulis produktif, terutama karya-karya puisi romantis yang memberikan semangat dalam kehidupan.
Dari setiap orang pasti memiliki perbedaan dalam menulis puisi, kalau Sapardi memiliki ciri khas tersendiri, dia menggunakan diksi yang sederhana, dan mengandung makna sangat mendalam.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu menulis puisi dalam beragam tema, tidak sedikit juga tentang cinta. Puisi cinta buah hasil karya Sapardi begitu romantis dan memiliki daya magis yang dapat menyentuh hati para pembaca.
Baca Juga: Karya Puisi Pilihan Chairil Anwar
Inilah diantara Puisi-puisi Romantis Hasil karya Sapardi Djoko Damono :
1. Pada Suatu Hari Nanti
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
Baca Juga: Puisi Sang Pemimpin Pemberani untuk Gus Dur
2. Aku Ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
3. Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi
Baca Juga: Dua Puisi Joko Pinurbo yang harus kamu baca di perantuan
4. Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
mencintai-Mu
harus menjelma aku
5. Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Baca Juga: Dua Puisi Joko Pinurbo yang harus kamu baca di perantuan
6. Hanya
hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
7. Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;
Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Baca Juga: Bacakan 3 Puisi ini, Pasti Luluh Hati Gebetan Kamu
8. Dalam Doaku
dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang
mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di
ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang
tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
dalam magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
perlahan dari nun jauh di sana, bersijingkat di jalan kecil itu,
menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh- nyentuhkan
pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah
batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang
tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak pernah selesai
mendoakan keselamatanmu
Baca Juga: Karya Puisi Pilihan Chairil Anwar
9. Tentu. Kau Boleh
Tentu. Kau boleh mengalir
di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali-kali
pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan percintaan ini
Sampai huruf terakhir
sajak ini, Kau-lah yang harus
bertanggung jawab
atas air mataku.
10. Sajak Tafsir
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu.
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin.
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah,
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu.
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam.
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.***