Puisi Mas Kumambang Karya W.S. Rendra

16 Januari 2021, 15:16 WIB
ILUSTRASI Puisi Mas Kumambang Karya W.S. Rendra./Pixabay/anapaula_feriani/ /

Tuban Bicara - W.S. Rendra sapaan akrabnya seorang sastrawan dan penyair Indonesia terkenal, nama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, ia lahir di solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 – meninggal di Depok, jawa Barat, 6 agustus 2009 pada umur 73 tahun.

Penyair ini memiliki julukan “Burung Merak”. Tahun 1967 ia mendirikan bengkel teater dan melahirkan para seniman diantaranya Sitok srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain lain. Ketika kelompok teaternya kocar kacir karena tekanan politik, ia memindahkan bengkel teater di Depok, Oktober 1985.

Berikut ini karya puisi terbaiknya yaitu:

Baca Juga: Puisi Hai, Ma! Karya W.S. Rendra

Puisi Maskumambang
(W.S. Rendra) Cipayung Jaya, 4 April 2006

Kabut fajar menyusut dengan perlahan.
Bunga bintaro berguguran
di halaman perpustakaan.
Di tepi kolam,
di dekat rumpun keladi,
aku duduk di atas batu,
melelehkan air mata.

Cucu-cucuku!
Zaman macam apa, peradaban macam apa,
yang akan kami wariskan kepada kalian!
Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.

Kami adalah angkatan pongah.
Besar pasak dari tiang.
Kami tidak mampu membuat rencana
manghadapi masa depan.

Baca Juga: Puisi Kangen Karya W.S. Rendra

Karena kami tidak menguasai ilmu
untuk membaca tata buku masa lalu,
dan tidak menguasai ilmu
untuk membaca tata buku masa kini,
maka rencana masa depan
hanyalah spekulasi keinginan
dan angan-angan.

Cucu-cucuku!
Negara terlanda gelombang zaman edan.
Cita-cita kebajikan terhempas waktu,
lesu dipangku batu.

Tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa,
biarpun tercampak di selokan zaman.

Bangsa kita kini seperti dadu
terperangkap di dalam kaleng utang,
yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa,
tanpa kita berdaya melawannya.
Semuanya terjadi atas nama pembangungan,
yang mencontoh tatanan pembangunan
di zaman penjajahan.

Baca Juga: Lirik Syiir Tanpo Waton dan Bahasa Jawa dan Indonesia

Tatanan kenegaraan,
dan tatanan hukum,
juga mencontoh tatanan penjajahan.
Menyebabkan rakyat dan hukum
hadir tanpa kedaulatan.
Yang sah berdaulat
hanyalah pemerintah dan partai politik.

O, comberan peradaban!
O, martabat bangsa yang kini compang-camping!

Negara gaduh.
Bangsa rapuh.
Kekuasaan kekerasan merajalela.
Pasar dibakar.
Kampung dibakar.
Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.
Tanpa ada gantinya.
Semua atas nama takhayul pembangunan.
Restoran dibakar.
Toko dibakar.
Gereja dibakar.
Atas nama semangat agama yang berkobar.

Baca Juga: Sinopsis Samudra Cinta 16 Januari 2021 Malam Ini, Benarkah Mentari Masih Hidup?

Apabila agama menjadi lencana politik,
maka erosi agama pasti terjadi!
Karena politik tidak punya kepala.
Tidak punya telinga. Tidak punya hati.
Politik hanya mengenal kalah dan menang.
Kawan dan lawan.
Peradaban yang dangkal.

Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik tidak boleh menjamah
ruang iman dan akal
di dalam daulat manusia!

Namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia,
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat,
dan daulat hukum akal sehat.

Matahari yang merayap naik dari ufuk timur
telah melampaui pohon jinjing.
Udara yang ramah menyapa tubuhku.
Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.
Berdengung sepasang kumbang
yang bersenggama di udara.
Mas Willy! istriku datang menyapaku.
Ia melihat pipiku basah oleh air mata.
Aku bangkit hendak berkata.
Sssh, diam! bisik istriku,
Jangan menangis. Tulis sajak.
Jangan bicara.

Baca Juga: Sinopsis Samudra Cinta 16 Januari 2021 Malam Ini, Benarkah Mentari Masih Hidup?

Begitulah puisi dari W.S. Rendra, Semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi kamu untuk belajar menulis puisi sekaligus meneladani perjalanan sastrawan-sastrawan hebat yang lahir dari Indonesia.***

Editor: Edison T

Tags

Terkini

Terpopuler