Misteri Jalan Lettu Suyitno di Bojonegoro, Heroisme Perwira Tiga Zaman dari Tuban

10 November 2020, 23:03 WIB
Patung Lettu Suyitno di Bojonegoro /

Tuban Bicara - Pada hari spesial kali ini, Hari Pahlawan. Mencoba untuk menghadirkan kisah Lettu Suyitno yang namanya digunakan sebagai nama jalan yang ada di Bojonegoro. Jalanan di Bojonegoro Menyimpan misteri dengan kisahnya masing-masing. Salah satu di antaranya Jalan Lettu Suyitno di Kecamatan Bojonegoro yang menyimpan heroisme perwira tiga zaman.

Sebagian besar jalan di Bojonegoro nama jalannya kurang mendapat perhatian. Padahal nama-nama yang digunakan bukan nama orang biasa. Kebanyakan mereka kusuma bangsa. Gugur dalam medan perang demi mempertahankan kemerdekaan. Selain Lisman, ada Lettu Suyitno yang memiliki peranan penting di Bojonegoro. 

Merujuk pada buku Bojonegoro dari masa ke masa, Lettu Suyitno merupakan pahlawan yang lahir di Tuban, mungkin lebih dikenal oleh masyarakat Bojonegoro. Dan mungkin juga ada yang mengira bahwa Lettu Suyitno lahir di Bojonegoro. Padahal Raden Mas Lettu Suyitno merupakan anak bupati Tuban. Nama Lettu Suyitno mungkin juga telah mengalir dalam jiwa dan raga masyarakat Bojonegoro, bak aliran sungai Bengawan Solo yang terus mengalir menlintasi beberapa kabupaten tiada henti.

Baca Juga: Peringati Hari Pahlawan, Mensos RI: Jadikan Motivasi dan Inspirasi untuk Pembangunan Bangsa 

Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya patung yang berdiri di Alun-Alun Bojonegoro. Selain itu ada beberapa produsen kaos yang menggunakan gambar Lettu Suyitno sebagai model. Hal tersebut memberi gambaran bahwa industri kreatif juga berperan dalam mempromosikan pesan heroisme. Hal itu patut diacungi jempol, dari kaos kita bisa mengenalkan Lettu Suyitno kepada khalayak ramai. 

Namun nampaknya pesan heroisme juga belum sepenuhnya tersampaikan. Coba, tanyakan kepada anak-anak millenial di Bojonegoro, Tuban, dan sekitarnya, tentang siapa Lettu Suyitno? Dan dimana letak Jalan Lettu Suyitno?

Apa yang terngiang dalam kepalamu ketika mendengar nama Lettu Suyitno? Letnan Satu (Lettu) Suyitno merupakan kusuma bangsa dari Tuban. Beliau merupakan anak dari Bupati Tuban yaitu R.M.A.A. Koesoemobroto. R.M. Soejitno lahir di Tuban pada tanggal 4 November 1925. Mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Tuban, kemudian melanjutkan ke Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya namun tidak sampai lulus, kemudian melanjutkan pendidikan lagi di sebuah SMP yang ada di Tuban. Pendidikan militer diperolehnya dari Syodanco (Perwira PETA di Bogor). 

Baca Juga: Rizieq Shihab Pulang Ke Indonesia, Chudry Sitompul: Kasus Hukum Tidak Lantas Batal

Ketika masa penjajahan Jepang, Suyitno sebagai perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Dai Ni Daidan Tuban. Era kemerdekaan beliau penah tergabung di Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Repbulik Indonesia (TRI), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Batalyon Soeharto Res. 30 Divisi V di Tuban. Kemudian pada tahun 1948, pindah ke Kesatuan Batalyon 16 Brigade Ronggolawe dengan pangkat Letnan Satu (Lettu) dan jabatan sebagai Perwira Operasi.

Suyitno dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan berwibawa, disiplin, dan juga ramah. Suyitno beberapa kali ditugaskan di Front Pertempuran Surabaya bersama anak buahnya dalam menghadapi pasukan Belanda (NICA). Pada waktu meletusnya pemberontakan PKI Musso di Madiun pada tanggal 19 September 1948, Suyitno dengan jabatan perwira melakukan Operasi Batalyon 16 Brigade I Ronggolawe. Daerah operasinya tidak hanya di Bojonegoro melainkan meliputi Kabupaten Blora wabil khusus di Cepu dan sekitarnya juga di Kabupaten Rembang. Sama seperti beberapa orang hebat lainnya, Raden Mas Soejitno belum pernah kawin. Karena jiwa dan raganya hanya untuk berjuang demi Indonesia. 

Banyak jasa yang telah diberikan Lettu Suyitno dan kawan-kawannya terhadap Indonesia wabil khusus di daerah Tuban dan sekitarnya. Salah satu di antaranya di Bojonegoro. Sebagai bentuk apresiasi dan mengabadikan jasa Lettu Suyitno, pemerintah membuat patung yang gagah berdiri di Alun-Alun Bojonegoro. Selain itu juga mengabadikan nama Lettu Suyitno sebagai nama jalan yang berada di Kecamatan Bojonegoro. Penamaan jalan tersebut, kiranya tepat. Karena Jalan Lettu Suyitno melintasi empat desa yang kiranya bisa menggambarkan jalan juang yang panjang dan salah satu diantaranya dekat dengan kota kelahiran Suyitno (Bumi Wali/Tuban) yakni Kalirejo. Desa Kalirejo dekat dengan Sungai Bengawan Solo. Kemudian dihubungan dengan Jembatan Glendeng.

Baca Juga: Kembali ke Indonesia, Habib Riziq akan Nikahkan anaknya

Daerah Tuban dengan Bojonegoro dihubungkan dengan Jembatan Glendeng. Jembatan tersebut bak penyalur semangat heroisme Lettu Suyitno dari Tuban ke Bojonegoro. Sebab daerah Glendeng menjadi saksi bisu pertempuran melawan Belanda dan Lettu Suyitno terlibat di dalamnya.

Papan nama Jalan Lettu Suyitno yang berada di Desa Kalirejo sayangnya tertutup dengan dedaunan. Diperlukan penglihatan ekstra untuk menemukan papan nama jalan berwarna hijau bertuliskan Lettu Suyitno dan kode pos 62116. Jalan tersebut tersirat pesan heroisme karena pernah menjadi saksi bisu pertempuran pasukan Indonesia melawan Belanda dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Selain itu juga menyimpan berjuta keunikan, yang saban orang bisa mengutarakannya. Salah satu di antaranya Jalan Lettu Suyitno melintasi empat desa yakni Desa Kalirejo, Mulyoagung, Campurejo, dan Banjarejo.

Sangat unik kalau meninjau Jalan Lettu Suyitno dari segi antropologi sosial dan budaya dan juga morfologi jalan, baik melalui dunia nyata maupun maya (Google Maps). Saban desa yang dilintasi Jalan Lettu Suyitno memiliki beberapa dukuh dan setiap dukuh maupun desa memiliki tradisi yang berbeda. Ketika melintasi Jalan Lettu Suyitno, akan merasakan nuansa desa dengan balutan kota. Di Kalirejo berdiri perguruan tinggi tertua di Bojonegoro yaitu Universitas Bojonegoro (Unigoro). Kemudian juga ada pabrik, kantor dinas, SMPN 4 Bojonegoro, Masjid Desa Muyoagung “Al-Rohman”, dan lain-lain. Selain itu ditinjau dari toponimi, daerah-daerah yang berada di Jalan Lettu Suyitno juga unik dan kemungkinan tak banyak orang yang mengetahui seperti Jantur, Ngangkatan, Pohagung, dan sebagainya.

Baca Juga: Kabar baik dari Pfizer, Perusahaan farmasi ini berhasil Uji Coba Vaksin COVID-19

Di Mulyoagung ada jalan yang terkenal dengan sebutan jalan ngepang. Di jalan ngepang terdapat taman yang ada air mancurnya dan juga tulisan Pinarak Bojonegoro. Orang-orang tua yang masih hidup di zaman sekarang terkadang lebih tahu “Jantur” daripada “Mulyoagung”. Banyak hipotesis yang muncul mengenai latar belakang kata “Jantur”. Berdasar salah seorang masyarakat sekitar, Jantur merupakan kata yang melakukan suatu tindak yang sifatnya agak keras. Selain itu penyebutan makam yang ada di desa tersebut, lebih terkenal dengan “Kuburan Jantur” daripada “Makam Mulyoagung”. Dan di sana terdapat makam Mbah Berok yang dianggap tetua desa atau orang yang memiliki pengaruh (penting) di masanya. 

Di area jalan ngepang yang berada di Desa Mulyoagung (Jalan Lettu Suyitno) terdapat sebuah tugu untuk mengetahui telah gugur kusuma bangsa atas nama Lettu Suyitno. Lokasinya agak dekat dengan Balai Desa Mulyoagung. Tugu kecil dengan warna loreng tersebut sebagai pengingat bahwa Lettu Suyitno gugur di daerah itu. Lettu Suyitno gugur ketika menjadi komando perlawanan dalam petempuran Palagan Temayang pada tanggal 15 Januari 1949 M (15 Rabi’ul-Awal 1368 H) di Mulyoagung. Candrasengkala untuk mengenang gugurnya Lettu Suyitno, berdasar tahun Jawa adalah 1880 disebut Noto Putro Pejah Ngabekti yang artinya bertekad satu, berjuang dan berkorban, jiwa raga demi keluhuran/keselamatan nusa, bangsa, dan negara Republik Indonesia.

Apabila dini hari kalian melintasi Jalan Lettu Suyitno dan merasa lapar, jangan khawatir. Karena di sana terdapat penjual serabi, ketan, dan kopi. Tempatnya di dekat kuburan cina. Warung tersebut bisa dikatakan legendaris, karena turun-temurun dari satu generasi ke generasi. Perlu kalian ketahui, di dekat kuburan cina terdapat juga gedung futsal Bojonegoro Sport Centre (BSC) 2. Karena mungkin tempatnya kurang strategis, bisa dibilang lapangan itu sepi dibandingkan dengan beberapa lapangan futsal yang berada di Kecamatan Bojonegoro. Dan apabila meilntasi Jalan Lettu Suyitno di siang hari dan dahaga menyerang, sila mampir di penjual es cao yang berada di sekitar depan kuburan cina. 

Baca Juga: Presiden Joko Widodo Serahkan 1 juta sertifikat Tanah 

Di jalan Lettu Suyitno juga terdapat akses langsung menuju bantaran Sungai Bengawan Solo. Akses langsung menuju bantaran Sungai Bengawan Solo sering dimanfaatkan oleh penambang pasir. Selain itu juga ada beberapa warung kopi yang tersebar di Jalan Lettu Suyitno. Salah satu di antaranya Ajang Jengker (AJ). Dulu juga ada gedung tenis meja yang beralamat di Jalan Lettu Suyitno.

Di Dukuh Pohagung, Desa Campurejo terdapat pabrik pengolahan tembakau. Keberadaan pabrik tersebut, merupakan salah satu faktor penyebutan masyarakat “Pohagung” lebih dikenal oleh masyarakat di Manila. Bukan Manila yang ada di Filipna, ya, melainkan Manila atau Menilo yang ada di Kabupaten Tuban. Karena pabrik itu menyerap tenaga kerja dari sana juga. Dan tak jarang ada beberapa tenaga kerja menunaikan janji suci (perkawinan) dengan masyarakat Pohagung.

Kemudian setelah pabrik yang berada di depan Gang Dalangoro (Gapura Ireng) itu tidak beroperasi. Kawan-kawan dari Gang Dalangoro terkadang menggunakannya sebagai arena bermain sepak bola. Karena pabrik itu luas, dan didukung dengan bangunan unik untuk melakukan oven tembakau. Sekarang lokasi pabrik pengolahan tembakau itu menjadi gedung olahraga. 

Baca Juga: Rizieq Shihab Pulang Ke Indonesia, Chudry Sitompul: Kasus Hukum Tidak Lantas Batal

Jalan Lettu Suyitno juga ada di Banjarejo. Salah satu peta di era kolonial, menggambarkan bahwa Bandjaredjo (ejaan lama) merupakan daerah yang ramai jika dibanding dengan Campurejo maupun Mulyoagung. Sebab terdapat halte dan dilintasi kereta pada masa Hindia Belanda. Kereta dari Ponorogo kemudian melintasi daerah Bandjarejo, Kali Rowo (Rel bengkong, Ngrowo), Djambean, dan Soekordjokampung (Daereh Stasiun Bojonegoro).

Beberapa objek penting yang berdiri di Banjerejo salah satu di antaranya Puskesmas Bojonegoro. Kemudian kelompok remaja yang pernah eksis di era awal 2000-an di Banjarejo ada yang namanya Campus, di Campurejo (Pohagung) ada yang namanya Krapyak, dan di Mulyoagung ada Rhemuck. Kelompok-kelompok itu juga biasanya turut serta dalam gerak jalan tinggang. Dan Jalan Lettu Suyitno menjadi saksi bisu dinamika sosial dan budaya saban desa yang terlalui.

Itulah, tentang Jalan Lettu Suyitno yang terkandung heroisme perwira tiga zaman dan berjuta keunikan. Hal-hal yang unik bisa ditinjau dari sosiologi pedesaan, tradisi, dan sebagainya. Sejak lahir hingga gugur, Raden Mas Soejitno mengalami tiga zaman yakni zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Nama Lettu Suyitno abadi dalam khzanah sejarah Bojonegoro. Dan tentunya namanya akan tetap abadi sebagai kusuma bangsa Indonesia.***

 

Editor: Yogi Abdul Gofur

Tags

Terkini

Terpopuler