Sajak Si Burung Merak, 'Perempuan yang Tergusur'

7 Januari 2021, 19:20 WIB
Ilustrasi puisi yang bisa dibacakan di hari ibu. /PIXABAY/Carola68

Tuban Bicara - Kumpulan Puisi Rendra yang Belum Pernah di publikasikan 'Doa untuk Anak Cucu' Penerbit Bentang. Cetakan Pertama, April 2013.

Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo atau yang lebih dikenal dengan Ws. Rendra, lahir di kampung Jayengan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, pada Kamis Kliwon, 7 November 1935, pukul 17.05.

Willy, begitu Rendra akrab disapa, ayahnya bernama Brotoatmojo, seorang guru bahasa Indonesia dan Jawa Kuno. Leluhur ayahnya dahulu para Tumenggung jago perang dan guru-guru bela diri. Nama kecil sang ayah adalah Sugeng.

Baca Juga: Sajak Si Burung Merak, 'Pertemuan Malam'

Rendra beribukan Raden Ajeng Ismadillah. Dari ibunya, Rendra belajar tentang kebudayaan tradisional Jawa, seperti berpuasa, berendam, bicara sesuai dengan napas, juga lagu-lagu rakyat tembang dolanan.

Rendra menganggap semua sajaknya adalah 'anak-anaknya'. "Saya menulis puisi tidak bisa diprogramkan, kapan saja dan bisa di mana saja. Dalam situasi di mana saja merasa: kemaren dan esok adalah hari ini, bencana dan keberuntungan sama saja, langit di luar langit di badan, bersatu dalam jiwa".

Ws. Rendra meninggal pada 6 Agustus 2009, Kamis malam Jum'at dan dimakamkan seusai shalat Jumat, 7 Agustus 2009 di 'Kampus Bengkel Teater Rendra' Desa Cipayung Jaya, Depok.

Baca Juga: Sajak Gus Mus, Aku Melihatmu!

Perempuan yang Tergusur

Hujan lebat turun di hulu subuh
disertai angin gemuruh
yang menerbangkan mimpi
yang lalu tersangkut di ranting pohon.

Baca Juga: Sajak Si Burung Merak, 'Sagu Ambon'

Aku terjaga dan termangu
menatap rak buku-buku
mendengar hujan menghajar dinding
rumah kayuku.
Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi
dan lalu terbayanglah wajahmu,
wahai perempuan yang tergusur!

Baca Juga: Sajak Si Burung Merak, 'He, Remco...'

Tanpa pilihan
ibumu mati ketika kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.

Baca Juga: Sajak Si Burung Merak, 'Pertanyaan Penting'

Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
ketika ikut demontrasi politik
sebagai demonstran bayaran.

Baca Juga: Sajak Si Burung Merak, 'Ibu di Atas Debu'

Sebagai janda yang pelacur
kamu tinggal di gubuk tepi kali
di batas kota.
Gubernur dan para anggota DPRD
menggolongkanmu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.

Baca Juga: Sajak Si Burung Merak, 'Pertemuan Malam'

Di dalam hujan lebat pagi ini
apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan
sambil memeluk kantong plastik
yang berisi sisa hartamu?
Ataukah berteduh di bawah jembatan?

Impian dan usaha
bagai tata rias yang luntur oleh hujan
mengotori wajahmu.
kamu tidak merdeka.
Kamu adalah korban tenung keadaan.
Keadilan terletak di seberang highway yang berbahaya
yang tak mungkin kamu seberangi.

Baca Juga: Sajak Gus Mus, Aku Melihatmu!

Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.
Tetapi aku memihak kepadamu.
Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingin
di jidatmu?

O, cendawan peradaban!
O, teka-teki keadilan!

Waktu berjalan satu arah saja.
Tetapi ia bukan garis lurus.
Ia penuh kelokan yang mengejutkan,
gunung dan jurang yang mengecilkan hati,
Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya
puncak penderitaan yang menyakitkan hati,
atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,
selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,
ialah kedudukan kaum terhina.

Baca Juga: Sajak Si Burung Merak, 'Sagu Ambon'

Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.

Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana
semak yang berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di hati ini.

Cipayung Jaya, 3 Desember 2003.***

Editor: Edison T

Tags

Terkini

Terpopuler