Tuban Bicara - Goenawan Soesatyo Mohamad atau yang lebih dikenal dengan Goenawan Mohamad adalah seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas.
Tulisan Goenawan banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, dan korupsi banyak dimuat dimedia-media cetak dan online.
Ketika duduk di kelas VI SD, Goenawan mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI.
Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad
Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) saat itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H. B. Jassin.
Goenawan sendiri mulai menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson.
Ia pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997.
Baca Juga: Puisi Perjalanan Malam Karya Goenawan Muhammad
Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir untuk Majalah Tempo, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).
Beginilah diantara beberapa karya Puisi Goenawan Muhammad.
Puisi BERLIN, 1993
Berlin berteriak
dalam bengis sirene
Kau tersentak:
“Jangan tinggalkan aku di Friedrichstrasse”
Kucium pelupukmu, kelopak yang gelap
di kaca etalase:
Kenapa luka itu tak pernah nampak
seusai berita dan parade?
Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad
Pohon-pohon linden sebelum Mei
seperti rangka, seperti berdiri,
nyeri, di kamp tahun ‘42
pagi hari.
Kulihat rautmu yang turki,
rambutmu yahudi
Berlinmu yang lain,
setelah aku pergi
Aku pun bertanya, bisakah kita berlindung
pada senja yang tak memihak,
pada malam sejenak,
dan metamorfose?
Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad
Berlin hanya berteriak
hanya berteriak
dalam serak
dan bengis sirine.
1994-1996
Begitulah karya Puisi Goenawan Muhammad, semoga bermanfaat bagi kalian semua yang baru belajar menulis puisi.***