Puisi untuk Frida Kahlo Karya Goenawan Muhammad

21 Februari 2021, 22:45 WIB
Ilustrasi puisi. /Pixabay.com/Andreas160578

Tuban Bicara - Goenawan Soesatyo Mohamad atau yang lebih dikenal dengan Goenawan Mohamad adalah seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas.

Tulisan Goenawan banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, dan korupsi banyak dimuat dimedia-media cetak dan online.

Ketika duduk di kelas VI SD, Goenawan mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI.

Baca Juga: Puisi 30 Tahun Kemudian Karya Goenawan Muhammad

Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) saat itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H. B. Jassin.

Goenawan sendiri mulai menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson.

Ia pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997.

Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad

Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir untuk Majalah Tempo, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).

Beginilah diantara beberapa karya Puisi Goenawan Muhammad.

Puisi UNTUK FRIDA KAHLO

Frida Kahlo menulis dalam catatan hariannya: ”Hidup yang

diam, pemberi dunia, apa yang paling penting ialah tiada

harap.” Di sana disebutnya juga fajar, pagi, rekan-rekan merah,

ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung yang gaduh …

 

Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaan

lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah dalam

dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?

 Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad

Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak adalah

lelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui beranda Rumah

Biru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh, mencicipi kue,

dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang tuhan

yang mereka ingkari dan kedatangan Trotsky

Mereka berkata, ‘Tidak, Frida, kau tak apa-apa’

Tapi di alis itu …

 

di alismu langit berkabung

dengan jerit hitam

dua burung

 

di ragamu tiang patah

di kamar narkose, ampul tertebar:

sisa sakit dan sejarah

 

tapi kijang yang tak menjerit di hutan

pada luka lembing penghabisan

adalah seorang perempuan

Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad

uluhati yang tercerabut

tapi terbang, menjemput Maut

adalah seorang perempuan

 

Kemudian akan datang lusa: dari Cayougan orang-orang akan

pulang, dan akan datang pula orang lain. Ada yang telah

berangkat mengurus revolusi atau kembali menenteng tas dan

kertas-kertas – manifesto yang kehilangan bunyi. Tapi semua

berkata, “Tidak, Frida, kau, kita, juga Diego Riviera, telah

berusaha untuk setia, tapi kita bukan apa-apa lagi. Dunia

sudah tak seperti dulu.”

 

Bukan apa-apa …

tapi di matamu kaulihat

piramid-piramid sakit

mencari air kaktus

pada pucat langit

Baca Juga: Puisi Perjalanan Malam Karya Goenawan Muhammad

Lalu kaulukiskan airmatamu,

seperti mutiara dan

putih cuka

di tembikar kulitmu

 

Di atasnya para santo

dan wajah Diego: praba dan cahaya

yang membakar kekal

mimpi Meksiko

 

Di ruang Meksiko itu, dengan gaun putih Tehuana, Frida

menghentikan kursi rodanya. Kamar berubah suhu, tapi hidup,

seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti. Kekekalan – yang

telah mengalami semua, dan akan menyaksikan semua – tak

ada. Palet yang memamerkan luka, paras Judas, rangka dari

kertas, buket kembang lavender yang tertahan di tangan:

elemen waktu yang berakhir setiap hari, setiap kali.

 Baca Juga: Puisi 30 Tahun Kemudian Karya Goenawan Muhammad

Terkadang ia tergoda juga untuk lupa: dilukisnya korsase putih

yang tetap bersih dan Noguchi (di dada seorang perempuan, di

Manhattan, yang jatuh dari gedung-gedung, dengan raut

cemerlang, bunuh diri).

 

Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya – sebelum

orang mengangkatnya ke api kremasi – ada seorang yang

datang dan mencium parasnya, penghabisan kali, “Frida, kau

adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di

percakapan dan ranum pisang dalam sajikan makan malam.

Kau tergetar kepada apa yang sebentar.”

 

Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramarama

yang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang tak

tahu telah berubah lazuardi.

Baca Juga: Puisi 30 Tahun Kemudian Karya Goenawan Muhammad

“Apa yang akan kulakukan tanpa yang absurd dan yang

sementara?”

Benar, begitulah ia pernah bertanya.

1993-1994

Begitulah karya Puisi Goenawan Muhammad, semoga bermanfaat bagi kalian semua yang baru belajar menulis puisi.***

Editor: Edison T

Tags

Terkini

Terpopuler