Tuban Bicara - Goenawan Soesatyo Mohamad atau yang lebih dikenal dengan Goenawan Mohamad adalah seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas.
Tulisan Goenawan banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, dan korupsi banyak dimuat dimedia-media cetak dan online.
Ketika duduk di kelas VI SD, Goenawan mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI.
Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad
Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) saat itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H. B. Jassin.
Goenawan sendiri mulai menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson.
Ia pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997.
Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad
Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir untuk Majalah Tempo, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).
Beginilah diantara beberapa karya Puisi Goenawan Muhammad.
Puisi MISALKAN KITA DI SARAJEVO
Buat B.B dan kawan-kawan
Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk
dengan kanon sepucuk
dan bertanya benarkah ke Sarajevo
ada secelah pintu masuk.
Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad
Misalkan kita di Sarajevo: tembok itu,
dengan luka-luka peluru,
akan bilang “tidak”,
selepas galau.
Tapi kau tahu musim, di Sarajevo
akan mematahkan engsel,
dingin akan menciutkan tangan,
dan listrik lindap.
Orang-orang akan kembali
dari kedai minum,
dan memandangi hangus
di loteng-loteng.
Baca Juga: Puisi Perjalanan Malam Karya Goenawan Muhammad
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya
di Sarajevo: sebentang samun,
tanah yang redam?
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya?
Keyakinan dipasak
di atas mihrab dan lumbung gandung
dan tak ada lagi
orang membaca.
Hanya mungkin pada kita
masih ada seutas tilas,
yang tak terseka. Atau barangkali
sebentuk asli katahati?
Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad
Misalkan, misalkan, di Sarajevo: bulan
tak meninggalkan replika,
di dekat menara, tinggal warna putih
yang hilang dari azan
Misalkan angin juga kehilangan
perangai
di pucuk-pucuk poplar kuning
dan taman yang tak bergerak.
Pasti nenek peri, dengan suara kanker di perut,
akan berkata,
“Tinggal cobaan dalam puasa
di padang gurun, di mana kau tak bisa.”
Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad
Mengapa kita di Sarajevo?
Mengapa gerangan kita pertahankan kota ini?
Seperti dalam sebuah kisah film,
Sarajevo tak bisa takluk.
Kita tak bisa takluk
Tapi keluar dari gedung rapat umum,
orang-orang sipil
akan mengenakan baju mereka yang terbaik,
mencium pipi para isteri, ramah tapi gugup,
meskipun mereka, di dalam saku,
menyembunyikan teks yang gaib itu:
“Bukan roti, melainkan firman.”
Baca Juga: Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad
Batu-batu di trotoar ini
memang tak akan bisa jadi roti
cahaya salju di kejauhan itu
juga tak akan jadi firman
Tapi misalkan kita di Sarajevo
Di dekat museum itu kita juga akan takzim
membersihkan diri: Biarkan aku mati
dalam warna kirmizi.”
Lalu aku pergi
kau pergi, berangkat, tak memucat
seperti awal pagi
di warna kirmizi
1994
Baca Juga: Puisi Perjalanan Malam Karya Goenawan Muhammad
Begitulah karya Puisi Goenawan Muhammad, semoga bermanfaat bagi kalian semua yang baru belajar menulis puisi.***