Puisi Nuh Karya Goenawan Muhammad

21 Februari 2021, 18:55 WIB
Ilustrasi puisi. /Pixabay/congerdesign

Tuban Bicara - Goenawan Soesatyo Mohamad atau yang lebih dikenal dengan Goenawan Mohamad adalah seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas.

Tulisan Goenawan banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, dan korupsi banyak dimuat dimedia-media cetak dan online.

Ketika duduk di kelas VI SD, Goenawan mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI.

Baca Juga: Puisi Perjalanan Malam Karya Goenawan Muhammad

Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) saat itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H. B. Jassin.

Goenawan sendiri mulai menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson.

Ia pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997.

Baca Juga: Puisi Perjalanan Malam Karya Goenawan Muhammad

Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir untuk Majalah Tempo, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).

Beginilah diantara beberapa karya Puisi Goenawan Muhammad.

Puisi NUH

Pada hari Ahad kedua, kota tua itu tumpas. Curah hujan

tak lagi deras, meskipun angkasa masih ungu, dan hari gusar.

Rumah-rumah runtuh, seluruh permukaan rumpang, dan

tamasya mati bunyi, kecuali gemuruh air. Memang ada jerit

terakhir, yakni teriak seorang anak.

 Baca Juga: Puisi Perjalanan Malam Karya Goenawan Muhammad

“Ia jatuh,” kata laporan yang disampaikan kepada Nakhoda

“dari sebuah atap yang bongkah. Air bah menyeretnya

Kakinya memang lumpuh sebelah. Dengan cepat ia pun

tenggelam, seperti yang lain-lain: neneknya, ibu-bapaknya,

saudara-saudaranya sekandung. Ia tenggelam, seraya memekik,

begitu juga seluruh kota.”

 

Nakhoda itu tersenyum. Segera diberitakannya kabar terakhir itu

kepada Nuh yang sedang berdoa di kamarnya dalam bahtera.

Orang alim itu terdiam sebentar, lalu bangun dan berjalan ke

buritan. Ia ingin menyaksikan sendiri benarkah gelombang telah

selesai membunuh.

Baca Juga: Puisi Perjalanan Malam Karya Goenawan Muhammad 

Dan di sisa kota itu ia lihat mayat, terapung, menggelembung,

hampir hitam, beribu-ribu, seperti menantikan sesuatu.

Ia lihat gagak dan burung-burung marabou, bertengger di atas

perempuan-perempuan tua yang terserak busuk. Di permukaan

air itu bahkan hutan-hutan takluk dan senja seakan terbalik,

seperti pagi. Nuh pun berbisik,”Kaum yang musyrik, yang tak

dikehendaki…”

 

Ia menghela napas, lalu kembali ke anjungan. Bau bacin

menyusup dari cuaca, bahkan sampai ke ruang doa, dan ia

merasa kota itu akan segara jadi payau. Maka tatkala langit

teduh, Nuh segera meminta agar bahtera diarahkan ke sebuah

dataran tinggi yang masih utuh, di utara. Ia berkata, ”Keadilan,

perkara besar itu, telah dibereskan Tuhan.” Dan ia mendarat.

Baca Juga: Puisi Perjalanan Malam Karya Goenawan Muhammad

Lepas dari air, ia merunduk di tepian itu dan diucapkannya

syukur. Lalu segera disuruhnya persiapkan korban hewan di

kaki bukit. Harum daging bakar pun sampai ke langit, dan

membuat surga berbahagia. “Ya, Maha Dasar, tak ada lagi yang

bisa keluar,” begitulah sembah yang diucapkannya, ketika hari jadi

terang dan jemaat berdoa untuk kota-kota yang akan datang,

yang kukuh, patuh. Kota-kota Nuh.

1998

Begitulah karya Puisi Goenawan Muhammad, semoga bermanfaat bagi kalian semua yang baru belajar menulis puisi.***

Editor: Edison T

Tags

Terkini

Terpopuler