Puisi Rasanya Baru Kemarin (Versi V) Karya Gus Mus

27 Januari 2021, 13:48 WIB
Ilustrasi puisi. /PIXABAY/Carola68

Tuban Bicara - Siapa yang tidak kenal dengan Kyai satu ini, seorang penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, dia telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama.

Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.

KH Achmad Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus, Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari keluarga santri.

Baca Juga: Puisi Reformasi Terus Melaju Karya Gus Mus

Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur.

Ia dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama.

Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah tsanawiyah.

Baca Juga: Puisi Reformasi Terus Melaju Karya Gus Mus

Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, lalu masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Di Yogyakarta, ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampur tiga tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya.

Banyak karya puisi yang populer ditulisnya, sehingga para santri dan masyarakatnya memberikan gelar untuk dia seorang Kiai sekaligus Penyair, berikut ini karya puisi Gus Mus.

Baca Juga: Puisi Reformasi Terus Melaju Karya Gus Mus

Puisi Rasanya Baru Kemarin (Versi V)

Rasanya
Baru kemarin Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan seksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia. Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari mulut-mulut para jurkam PDI saja. Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya

Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan yang mulia
Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa
Sudah banyak yang turun tahta

Baca Juga: Puisi Reformasi Terus Melaju Karya Gus Mus

Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya

Tokoh-tokoh angkatan 45 sudah banyak yang koma
Tokoh-tokoh angkatan 66 sudah banyak yang terbenam

Rasanya
Baru kemarin

Letkol Suharto sudah menjadi
Sesepuh negara-negara sahabat
Wartawan Harmoko sudah menjadi
Pengatur suara rakyat

Waperdam Subandrio sudah hidup kembali
Menjadi pelajaran bagi setiap penguasa
Engkoh Eddy Tanzil sudah tak berkolusi lagi
Menjadi renungan bagi setiap pengusaha

Ibu Dewi sudah kembali
Menjadi penglipur
Buldozer Amir Mahmud kini
Sudah tergusur

Oom Liem dan kawan-kawan
Sudah menjadi dewa-dewa kemakmuran
Bang Zainuddin dan rekan-rekan
Sudah menjadi hiburan

Pak Domo yang mengerikan
Sudah berubah menggelikan
Bang Ali yang menentukan
Sudah berubah mengasihankan

Genduk Megawati yang gemulai
Sudah menjadi pemimpin partai
Ismail Hasan Metarium yang santai
Sudah menjadi politisi piawai

Gusti Mangkubumi di Yogya
Sudah menjadi raja dan ketua golongan karya
Gus Shohib yang sepuluh anaknya
Sudah menjadi pahlawan keluarga berencana

Baca Juga: Puisi Reformasi Terus Melaju Karya Gus Mus

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Bagaimana rasanya
Merdeka?)

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita
Merdeka

Jenderal Nasution dan Jenderal Yusuf yang pernah jaya
Sudah menjadi tuna karya

Ali Murtopo dan Sudjono Humardani yang sakti
Sudah lama mati
Pak Umar dan pak Darmono yang berdaulat
Sudah kembali menjadi rakyat

Pak Mitro dan pak Beni yang perkasa
Sudah tak lagi punya kuasa

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita
Merdeka

Kiai Ali dan Gus Yusuf yang agamawan
Sudah menjadi priyayi
Danarto dan Umar Kayam yang seniman
Sudah menjadi kiai

Gus Dur dan Cak Nur yang pintar
Sudah berkali-kali mengganti kacamata
Rendra dan Emha yang nakal
Sudah berkali-kali mengganti cerita

Goenawan sudah terpojok kesepian
Arief Budiman sudah berdemonstrasi sendirian
Romo Mangun sudah terbakar habis rambutnya
Tardji sudah menjalar-jalar janggutnya

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian
Benar-benar merdeka?)

Baca Juga: Puisi Reformasi Terus Melaju Karya Gus Mus

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad lamanya

Negara sudah semakin kuat
Rakyat sudah semakin terdaulat

Rasanya
Baru kemarin

Pejuang Marsinah sudah berkali-kali
Kuburnya digali tanpa perkaranya terbongkar
Preman-preman sejati sudah berkali-kali
Diselidiki dan berkas-berkasnya selalu terbakar

Rasanya
Baru kemarin

Banyak orang pandai sudah semakin linglung
Banyak orang bodoh sudah semakin bingung
Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan
Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan

Rasanya
Baru kemarin

Banyak ulama sudah semakin dekat kepada pejabat
Banyak pejabat sudah semakin erat dengan
konglomerat
Banyak wakil rakyat sudah semakin jauh dari umat
Banyak nurani dan akal budi sudah semakin sekarat

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian benar-benar merdeka?)

Baca Juga: Puisi Reformasi Terus Melaju Karya Gus Mus

Rasanya
Baru kemarin

Pembangunan ekonomi kita sudah sedemikian laju
Semakin jauh meninggalkan pembangunan akhlak
yang tak kunjung maju
Anak-anak kita sudah semakin mekar tubuhnya
Bapak-bapak kita sudah semakin besar perutnya

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah setengah abad kita merdeka

Kemajuan sudah menyeret dan mengurai
Pelukan kasih banyak ibu-bapa
Dari anak-anak kandung mereka
Kemakmuran duniawi sudah menutup mata
Banyak saudara terhadap saudaranya

Daging sudah lebih tinggi harganya
Dibanding ruh dan jiwa
Tanda gambar su

Baca Juga: Puisi Reformasi Terus Melaju Karya Gus Mus

Demikin karya puisi Gus Mus, semoga bermanfaat bagi kalian semua dan menambah semangat untuk menulis puisi.***

Editor: Edison T

Tags

Terkini

Terpopuler