Puisi Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon Karya W.S. Rendra

17 Januari 2021, 14:42 WIB
Ilustrasi Puisi Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon Karya W.S. Rendra /pixabay /andreas160578

Tuban Bicara - W.S. Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto, dengan sapaan W.S. Rendra adalah seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia yang lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun. Sejak masih muda beliau sudah sering menulis puisi, skenario drama, menulis cerpen, dan esai sastra di media massa.

Beliau adalah penyair ternama yang kerap dijuluki dengan sebutan "Burung Merak". Rendra juga orang yang telah mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan telah melahirkan banyak seniman terkenal. Seperti Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi dan lain-lain. Namun Bengkel Teater itu akhirnya kocar kacir karena tekanan politik dan Rendra memindahkannya ke Depok pada tahun 1985.

Berikut ini karya-karya puisi W.S. Rendra, bagi kalian yang sedang mencari puisi karya WS Rendra yang melegenda. Kami menyuguhkan satu per satu diantara puluhan karya puisinya.

Baca Juga: CEK FAKTA! Ali Mochtar Ngabalin Dikabarkan Resmi Dikeluarkan dari Istana Karena Alasan Ini

Puisi Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon
(W.S. Rendra) Pejambon, 23 Oktober 1977

Inilah sajakku,

seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,

dengan kedua tangan kugendong di belakang,

dan rokok kretek yang padam di mulutku.

Aku memandang zaman.

Aku melihat gambaran ekonomi

di etalase toko yang penuh merk asing,

dan jalan-jalan bobrok antar desa

yang tidak memungkinkan pergaulan.

Aku melihat penggarongan dan pembusukan.

Aku meludah di atas tanah.

Aku berdiri di muka kantor polisi.

Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.

Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.

Dan sebatang jalan panjang,

punuh debu,

penuh kucing-kucing liar,

penuh anak-anak berkudis,

penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.

Baca Juga: VIRAL! Beredar Video 18 Detik Polisi Tendang Habib Rizieq, Refly Harun Beberkan Fakta Sebenarnya

Aku berjalan menempuh matahari,

menyusuri jalan sejarah pembangunan,

yang kotor dan penuh penipuan.

Aku mendengar orang berkata :

Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana.

Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,

kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.

Mengatasi kemiskinan

meminta pengorbanan sedikit hak asasi

Astaga, tahi kerbo apa ini !

Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ?

Di negeri ini hak asasi dikurangi,

justru untuk membela yang mapan dan kaya.

Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa,

dibikin tak berdaya.

O, kepalsuan yang diberhalakan,

berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.

Aku mendengar bising kendaraan.

Aku mendengar pengadilan sandiwara.

Baca Juga: PVMBG: Gunung Semeru Masih Ditetapkan Pada Level II

Aku mendengar warta berita.

Ada gerilya kota merajalela di Eropa.

Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,

seorang yang gigih, melawan buruh,

telah diculik dan dibunuh,

oleh golongan orang-orang yang marah.

Aku menatap senjakala di pelabuhan.

Kakiku ngilu,

dan rokok di mulutku padam lagi.

Aku melihat darah di langit.

Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang.

Yang kuasa serba menekan.

Yang marah mulai mengeluarkan senjata.

Bajingan dilawan secara bajingan.

Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.

Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,

maka bajingan jalanan yang akan diadili.

Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?

Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?

Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?

Baca Juga: Hasil Pertandingan Liga Jerman, Silas Amankan Hasil Imbang Bagi Stuttgart

Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?

Apakah kata nurani kemanusiaan ?

O, Senjakala yang menyala !

Singkat tapi menggetarkan hati !

Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang !

O, gambaran-gambaran yang fana !

Kerna langit di badan yang tidak berhawa,

dan langit di luar dilabur bias senjakala,

maka nurani dibius tipudaya.

Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !

Yang capek tapi belum menyerah pada mati.

Kini aku berdiri di perempatan jalan.

Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.

Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.

Sebagai seorang manusia.

Baca Juga: CEK FAKTA! Ali Mochtar Ngabalin Dikabarkan Resmi Dikeluarkan dari Istana Karena Alasan Ini

Begitulah puisi dari W.S. Rendra, Semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi kamu untuk belajar menulis puisi sekaligus meneladani perjalanan sastrawan-sastrawan hebat yang lahir dari Indonesia.***

Editor: Edison T

Tags

Terkini

Terpopuler