Sajak Si Burung Merak, 'Kesaksian tentang Mastodon-Mastodon'

5 Januari 2021, 20:40 WIB
Ilustrasi puisi. /Pixabay.com/Counselling

Tuban Bicara - Kumpulan Puisi Rendra yang Belum Pernah di publikasikan 'Doa untuk Anak Cucu' Penerbit Bentang. Cetakan Pertama, April 2013.

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta Episode 109 Malam Ini: Alasan Al Datangi Erlangga dan Nino? Untuk Apa

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta Episode 109 Malam Ini: Respon Andin Dengar Rahasia Al dari Nino

 Kesaksian tentang Mastodon-Mastodon

 

Pembangunan telah dilangsungkan.

Di tanah, di air, dan udara sedang berlangsung perkembangan.

 

Aku memberi kesaksian

bahwa di Jakarta

langit, kelabu hambar dari ufuk ke ufuk.

Rembulan muncul pucat

seperti istri birokrat yang luntur tata riasnya.

Sungai mengandung pengkhianatan

Dan samudra diperkosa.

Sumpah serapah keluar dari mulut sopir taksi.

Keluh kesah menjadi handuk bagi buruh dan kuli.

 

Bila rakyat bicara memang bising dan repot.

Tetapi bila rakyat bisu itu kuburan.

Lalu apa gunanya membina ketenangan kuburan,

bila ketenangan hanya berarti kemacetan peredaran darah?

 

Aku memberi kesaksian

bahwa negara ini adalah negara pejabat dan pegawai.

Kebudayaan priyayi tempo dulu

diberi tambal sulam

dengan gombal-gombal khayalan baru

bagaikan para pangeran di zaman prailmiah.

Para pangeran baru bersekutu dengan cukong asing,

memonopoli alat berproduksi dan kekuatan distribusi.

 

Para pedagang pribumi hanya bisa menjual jasa

atau menjadi tukang kelontong

boleh menjadi kaya tetapi hanya mengambang kedudukannya.

 

Tirani dan pemusatan

adalah naluri dan kebudayaan pejabat dan pegawai.

Bagaikan gajah para pejabat menguasai semua rumput dan daun-daunan.

Kekukuhan dibina,

tetapi mobilitas masyarakat dikorbankan.

Hidup menjadi lesu dan macet.

Ketenangan dijaga

tetapi rakyat tegang dan terkekang.

Hidup menjadi muram, tanpa pilihan.

 

Aku memberi kesaksian,

bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai

filsafat mati

dan penghayatan kenyataan dikekang

diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi.

Kepatuhan diutamakan,

keangsian dianggap durhaka.

Dan pertanyaan-pertanyaan

dianggap pembangkangan.

Pembodohan bangsa akan terjadi

karena nalar dicurigai dan diawasi.

 

Aku memberi kesaksian,

gajah-gajah telah menulis hukum dengan tinta yang munafik.

Mereka mengangkang dengan angker dan perkasa

tanpa bisa diperiksa,

tanpa bisa dituntut,

tanpa bisa diadili secara terbuka.

Aku bertanya:

Apakah ini gambaran kesejahteraan

dari bangsa yang mulia?

 

Aku memberi kesaksian,

bahwa gajah-gajah bisa menjelma menjadi mastodon-mastodon.

Mereka menjadi setinggi menara dan sebesar berhala.

Mastodon-mastodon yang masuk ke laut dan menghabiskan semua ikan.

Mastodon yang melahap semen dan kayu lapis.

Melahap tiang-tiang listrik dan film-film impor.

Melahap minyak kasar, cengkih, kopi, dan bawang putih.

Mastodon-mastodon ini akan selalu membengkak,

selalu lapar

selalu merasa terancam

selalu menunjukkann wajah yang angker

dan mengentak-entakkan kaki ke bumi.

 

Maka mastodon yang satu

akan melotot kepada mastodon yang lain.

 

Matahari menyala bagaikan berdendam.

Bumi kering

alam protes dengan kemarau yang panjang.

Mastodon-mastodon pun lapar

dan mereka akan saling mencurigai.

 

Lalu mastodon-mastodon akan menyerbu kota.

Mereka akan menghabiskan semua beras dan jagung.

Mereka akan makan anak-anak kecil.

Mereka akan makan gedung dan jembatan.

Toko-toko, pasar-pasar, sekolah-sekolah,

masjid-masjid, gereja-gereja,

semuanya akan hancur.

Dan mastodon-mastodon masih tetap merasa lapar,

selalu waswas,

tak bisa tidur,

yang satu mengawasi yang lain.

 

Aku memberi kesaksian,

seandainya kiamat akan terjadi di negeri ini,

maka itu akan terjadi tidak dengan pertanda

bangkitnya kaum pengemis,

atau munculnya bencana alam,

tetapi akan terjadi dengan pertanda

saling bertempurnya mastodon-mastodon.

Jakarta, November 1973

Baca Juga: [Cek Fakta] Kelangkaan Tahu-Tempe dari Produksi Kedelai Hingga Penjelasan Kementan

Baca Juga: [Cek Fakta] Kelangkaan Tahu-Tempe dari Produksi Kedelai Hingga Penjelasan Kementan

Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo atau yang lebih dikenal dengan Ws. Rendra, lahir di kampung Jayengan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, pada Kamis Kliwon, 7 November 1935, pukul 17.05.

Willy, begitu Rendra akrab disapa, ayahnya bernama Brotoatmojo, seorang guru bahasa Indonesia dan Jawa Kuno. Leluhur ayahnya dahulu para Tumenggung jago perang dan guru-guru bela diri. Nama kecil sang ayah adalah Sugeng.

Rendra beribukan Raden Ajeng Ismadillah. Dari ibunya, Rendra belajar tentang kebudayaan tradisional Jawa, seperti berpuasa, berendam, bicara sesuai dengan napas, juga lagu-lagu rakyat tembang dolanan.

Rendra menganggap semua sajaknya adalah 'anak-anaknya'. "Saya menulis puisi tidak bisa diprogramkan, kapan saja dan bisa di mana saja. Dalam situasi di mana saja merasa: kemaren dan esok adalah hari ini, bencana dan keberuntungan sama saja, langit di luar langit di badan, bersatu dalam jiwa". 

Ws. Rendra meninggal pada 6 Agustus 2009, Kamis malam Jum'at dan dimakamkan seusai shalat Jumat, 7 Agustus 2009 di 'Kampus Bengkel Teater Rendra' Desa Cipayung Jaya, Depok.

Editor: Imam Sarozi

Tags

Terkini

Terpopuler