Sepasang Puisi Romantis Saijah-Adinda, Sangat Cocok untuk Berbagai Pementasan Teater : WS. Rendra

- 27 Mei 2022, 14:39 WIB
Saijah-Adinda/tangkap layar/film-max-Havelaar
Saijah-Adinda/tangkap layar/film-max-Havelaar /


Aku terengah-engah
dan bernapas lewat mulut.
Akang, alangkah berat rasanya
bila jantungku berdetak
jauh dari jantungmu.
Pada suatu hari
di masa aku linglung oleh rindu kepadamu
aku kenal lelaki seperti seorang bapa
di balai desa.
Ia mandor proyek jalan raya.


Di desa yang dirundung kemiskinan
ia menjadi harapan dan hiburan.
Suka berbagi rokok
mampu memberi pekerjaan.
Royal dalam pergaulan
dan kata-katanya mengandung keramahan.
Waktu itu aku berjualan kue ketan,
pisang rebus dan nasi dengan sayuran.


Ia selalu memborong sisa dagangan.
Kepada buruhnya dibagi-bagikan.
Aku terpesona kepada kemampuan uangnya
dan sikapnya yang seperti bapa.
Kepadaku ia selalu berkata
jangan ragu nyusul akang ke Sumatera.
Dan bila di balik rumpun pisang
ia memeluk pundakku
tangannya terasa hangat dan nikmat
membuat hidupku jadi sentosa.


Lalu datang surat akang dari Menggala.
Akang bilang mau membuka lading di Karta
Aku kembali linglung dan gila.
Dada menjadi tungku dan rindu menjadi bara.
Kepada Pak Mandor aku bercerita semuanya.
Kembali pundakku merasakan pelukannya.


Dalam kedamaian yang hangat ia berkata:
“Siapkan dirimu.
Seminggu lagi kuantar kamu
menyusul Saijah ke Sumatera.”

Baca Juga: Lakukanlah Semaumu Sampai Kau Lelah Menyakitiku Berikut Lirik Lagu Fabio Asher Bertahan Terluka Lengkap


Ya, Allah, seumur hidup belum pernah keluar desa.
Kini gerbang kurungan tiba-tiba terbuka.
Keluasan dunia menjadi goda yang mempesona.
Seluruh warga desa memberi restu
waktu kami pamit berangkat ke Sumatera.
Di dalam bis ia genggam tanganku.
Rasanya sirna hidup miskin dan sengsara.
Kami melaju kea rah surya.


Apa tahuku tentang jalan ke Sumatera!
Tapi toh aku ada pandu, ada bapa.
Ia mengajak nginap di Karawaci.
Di waktu malam ia mengetuk pintu.
Ia memberiku kain, selendang dan baju baru.


Ketika aku meluap oleh rasa gembira
ia memelukku dengan tiba-tiba.
Tubuhnya rapat ke seluruh tubuhku.
Susuku yang kenyal tertekan ke dadanya
menyebabkan darahku bergelora.
Tak bisa bilang tidak.


Kepalaku hilang di dalam kemabukan
ketika ia bertubi-tubi
menciumi wajah dan leherku.
Malam itu ia ambil perawanku.
Keperkasaannya menindih kesadaranku.

Halaman:

Editor: Fery Murya Vandi


Tags

Terkait

Terkini

x